Pernah terbersit di pikiran, mengapa ayah diberi beasiswa ke
Jepang, bukan Amerika. Setidaknya saat itu saya lebih paham dengan bahasa
Inggris. Kalau bahasa Jepang, jangankan berbicara, membaca saja tidak bisa sama
sekali! Tapi yang pasti itu sudah merupakan jalan Allah yang telah diberikan
kepada saya.
Sekarang, saya malah sangat bersyukur pernah hidup di negeri
sakura, sehingga saya paham kebudayaan di sana, kebiasaan orang timur belahan
negeri lain, dan tentu saja bahasanya. Jadinya saya semacam mengikuti les
bahasa Jepang gratis hingga lancar menggunakannya. Saya menjadi menguasai
setidaknya tiga bahasa, Indonesia, Jepang, dan Inggris. Untuk berbicara, saya
merasa lebih lancar berbicara bahasa Jepang dibanding bahasa Inggris. Ditambah
lagi, orang yang bisa berbahasa Jepang lebih langka daripada orang yang
berbahasa Inggris bukan? Saya rasakan ini menjadi salah satu ladang amal,
seorang translator muslimah. Walaupun latar belakang kuliah adalah IT, namun
sepertinya menarik juga jika memiliki usaha lain, seperti translator ataupun
mengajar kursus bahasa Jepang.
Tentu saja pengalaman tinggal di Jepang dan bisa berbahasa Jepang
tidak dibayar dengan mudah. Penuh daya juang, semangat, keringat, dan air mata
yang dikeluarkan oleh anak berusia tujuh tahun ketika itu. Mungkin sedikit
berlebihan, tapi itu kenyataan. Sekitar setahun pertama saya tinggal di sana,
kata Ibu, saya stress dan banyak menangis. Mungkin saya berusaha beradaptasi
dengan lingkungan saat itu yang teramat sangat berbeda. Kalau sekarang saya pikir,
banyak dari teman-teman, termasuk saya juga mungkin, yang ingin kuliah ataupun
pergi ke Jepang. Namun penting untuk diketahui, berada di negeri orang
bertahun-tahun, apalagi yang mayoritas non-muslim, tidaklah mudah. Kalau
istilah orang-orang, tidak seindah yang dibayangkan. Jadi selain persiapan
barang dan finansial, persiapan hati dan ruhiyah pun harus dilakukan.
Oktober 1997, sebelum berangkat ke Jepang saya sudah duduk di
bangku SD kelas tiga. Usia saya memang terlalu cepat satu tahun untuk memasuki
SD di Indonesia. Ketika usia lima tahun saya sudah masuk SD. Namun ternyata, di
Jepang untuk SD kelas satu harus berumur tujuh tahun. Saya berumur tujuh tahun
saat itu! Pada awalnya orang tua berencana untuk menyekolahkan di SD Indonesia,
khawatir akan hambatan bahasa. Namun karena Sendai adalah ibukota provinsi yang
termasuk kecil, tidak ada sekolah Indonesia di sana. Mau tidak mau, akhirnya
saya pun turun kelas menjadi SD kelas satu, dan bersekolah di Kunimi
Syougakkou. Kunimi Syougakkou kalau diterjemahkan menjadi SD Kunimi. Dimulailah
perjalanan bersekolah di SD negeri Jepang.
Saya sekolah di Kunimi Syougakkou karena SD tersebut lokasinya
paling dekat dengan Tohoku Daigaku International House, tempat tinggal saat
itu. Pada tahun berikutnya kami sekeluarga pindah ke Taihaku Danchi,
perumahan milik kecamatan Taihaku. Dengan demikian, setelah setahun bersekolah
di Kunimi Syougakkou, pada tahun berikutnya saya pun harus pindah ke Taihaku
Syougakkou hingga tahun keempat saya di Jepang. Saya beradapasi kembali dengan
lingkungan baru. Keduanya merupakan SD negeri Jepang. Saya merasakan lebih
nyaman dan memiliki banyak teman, bahkan sahabat, saat bersekolah di Taihaku
Syougakkou. Mungkin karena sudah beradaptasi sebelumnya dan lebih lancar
menggunakan bahasa Jepang.
Kalau ingat masa itu, ada juga sih rasa keterpaksaan dan sedikit
penyesalan kenapa tidak ada sekolah internasional di Sendai, prefecture Miyagi.
Yang ada hanyalah SD negeri Jepang, sehingga dengan terpaksa aku pun mendaftar
dan sekolah di SD tersebut. Namun keterpaksaan itu ternyata membuahkan hasil
yang manis. Mau tidak mau saya harus berbicara dengan bahasa Jepang dan menjadi
memiliki banyak teman Jepang. Pengalaman bersekolah di SD Jepang, mengikuti
kebiasaan-kebiasaannya, mengikuti pelajaran yang diterima oleh anak Jepang pada
umumnya, dan kegiatan-kegiatan sekolah di Jepang menjadi pengalaman tak
terlupakan. Mungkin apabila saya bersekolah di sekolah Indonesia, pengalaman
tersebut tidak lengkap didapatkan.
Namun sekali lagi, pengalaman di sana tidak semata-mata pengalaman
manis saja. Patut diketahui, saya beragama Islam, berbeda dengan teman-teman
Jepang saya yang lain. Saya mempunyai aturan-aturan agama yang indah untuk
diterapkan di mana pun saya berada, termasuk di sekolah itu.
Saya yang sudah berumur tujuh tahun, alhamdulillah sudah mengerti
tentang pentingnya seorang muslimah menutup aurat. Jadi ketika di Jepang pun
alhamdulillah saya sudah memakai kerudung. Tentu saja hal ini menjadi fenomena
yang agak aneh di Jepang. Hampir jarang ditemukan wanita berkerudung di sana.
Jikalau ada, kebanyakan dari mereka adalah warga asing yang tinggal di Jepang.
Bayangkan, bila di Indonesia hal itu biasa, namun di sekolah saya, saya menjadi
satu-satunya orang yang memakai kerudung! Sudah dapat dipastikan, saya menjadi
pusat perhatian, terlebih lagi dengan ‘kostum aneh’ yang saya kenakan. Tentu saja awalnya merasa risih. Di
sekolah, di jalan, di supermarket, di kendaraan umum, atau di mana pun saya berada, orang-orang akan melihat saya. Tidak jarang seorang anak kecil
memelototi saya, mungkin ia berpikir apa yang dipakai oleh orang itu. Bosan untuk
dilihat terus-menerus, saya pernah membalas memelototinya hingga anak itu
berhenti melihat ke arah saya. Tentunya saya lakukan dengan niatan bergurau. Di Indonesia
banyak muslimah yang memakai kerudung sehingga sudah dianggap biasa, namun di
Jepang hal itu menjadi luar biasa. Saya jadi bersyukur tinggal di Indonesia. Saya merasa sangat dimudahkan memakai jilbab di Indonesia. Mulai dari tersedianya
pilihan kerudung atau jilbab yang beraneka ragam di toko-toko, hingga kita
tidak perlu was-was memakainya. Saya jadi merasa sayang dengan muslimah
Indonesia yang belum menuntaskan kewajiban menutup auratnya. Sayang sekali.
Hidup di Indonesia sangat dimudahkan Allah dalam menutup aurat, namun mereka
belum melaksanakan hal tersebut. Kalau mereka boleh tahu, mengenakan jilbab di
negara non-muslim sangat besar tantangannya. Di Indonesia kita memiliki banyak ‘teman seperjuangan’. Jika tantangan
dari mereka adalah keluarga atau orang terdekat, percayalah, kalian tidak
sendiri. Pasti banyak dari teman-teman kita yang mau membantu kalian. Tentu
saja yang pasti Allah akan membantu kalian. Janganlah takut untuk berbuat
benar. Bila sudah berniat, jangan ditunda untuk memakainya karena kita tidak
tahu sampai kapan kita diizinkan Allah untuk hidup di dunia. Semoga kita semua
diberi kemudahan oleh Allah SWT.
Setiap hari Senin hingga Jumat, di sekolah saya selalu ada makan
siang bersama. Makanan disediakan dari sekolah dan yang memasak pun dari pihak
sekolah. Satu lagi saya temukan masalah di sini. Seperti yang telah kita ketahui,
dalam agama Islam tidak diperbolehkan makan makanan tertentu seperti babi,
daging pun harus disembelih dengan cara yang islami, masakan tidak boleh
menggunakan alkohol (walaupun mungkin di sini terjadi beberapa pendapat, tetapi
saya mengambil pendapat itu), dan ketentuan-ketentuan lain. Hal itu pun menjadi
perbedaan kembali dengan teman-teman saya yang lain. Ayah saya menyampaikan hal
tersebut ke sekolah, dan akhirnya pihak sekolah bersedia untuk membuatkan ‘menu khusus’ untuk saya. Saya kagum
dengan mereka yang rela bersusah-susah demi seorang anak kecil seperti saya ini.
Terima kasih ya Sensei. Arigatou gozaimasu.
Ketika saya kelas lima, ada acara camping sekolah. Pada saat
sekolah memberi tahu orang tua saya mengenai kegiatan camping sekolah, ibu ingin
minta izin agar saya tidak ikut. Terbayang betapa beratnya nanti perjuangan yang
harus saya lakukan. ibu menemui sensei dengan menyampaikan 3 hal yang
memberatkan, yaitu masalah makanan yang harus halal, masalah mandi yang tidak
bisa beramai-ramai, dan masalah pelaksanaan sholat. Namun di luar dugaan,
sensei sangat mengharapkan saya ikut karena selama ini belum pernah ada siswa
asing yang ikut camping. Sensei berjanji akan membantu saya dalam menyelesaikan
masalah tersebut.
Akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran dari sensei. Ternyata,
Allah memberikan jalan keluar terhadap semua permasalahan saya melewati sensei.
Hari pertama camping ada kegiatan memasak berkelompok membuat curry rice. Biasanya
mereka memasak menggunakan daging babi. Namun karena saya tidak bisa memakannya,
saya dibantu sensei membuat curry rice tanpa daging. Sensei bahkan
berbaik hati bersedia makan curry tanpa daging bersama saya. Hari berikutnya, kami menginap di penginapan. Di sana tersedia kantin. Sebelum berangkat camping, saya memang diminta untuk membawa lauk kering untuk berjaga-jaga apabila ada makanan
yang tidak bisa saya makan. Namun di luar dugaan, petugas yang memasak di kantin
sempat membuatkan menu khusus untuk saya yang tidak mengandung bahan yang tidak
bisa saya makan. Saya pun mengucapkan terima kasih kepada beliau. Malamnya ada
acara berendam bersama yang lumrah dilakukan orang Jepang. Saya yang memakai
kerudung saat itu tentu saja tidak bisa melakukannya. Lagi-lagi sensei membantu saya. Ketika teman-teman ofuro, ternyata sensei telah menyediakan
suatu kamar mandi khusus yang bisa saya gunakan untuk berendam sendiri. Saya terharu akan kebaikan Sensei, karena kamar mandi yang 'bekas' saya pakai juga digunakan
para sensei wanita untuk mandi. Untuk sholat, saya lakukan di tempat yang sepi
menggunakan sela-sela waktu seperti setelah teman-teman pergi. Sensei pernah
suatu ketika mengingatkan untuk sholat. Saya kaget karena pernah Sensei
mengingatkan sambil melakukan gerakan takbiratul ihram.
Begitulah perjuangan untuk survive di kegiatan yang jauh dari
kemudahan-kemudahan melaksanakan agama Islam. Tidak ada sholat berjama’ah, tidak ada berdoa sebelum makan bersama. Semuanya
dilakukan sendiri. Namun yang perlu kita yakini, Allah pasti menolong hamba-Nya
yang berusaha menjalankan perintah-Nya.
Ketika jalan-jalan di mall, tentu saja saya tidak bisa makan di
sembarang tempat. Bila di Indonesia sering berkunjung ke fastfood atau rumah
makan, namun fast food di sana belum tentu hewan disembelih dengan cara yang
islami (setidaknya pendapat tersebut yang saya ambil). Ketika mengadakan
makan-makan dengan orang Jepang pun, kami mengambil hanya sayur-sayuran dan
ikan, dan masakan yang kira-kira aman bumbu yang digunakannya. Sangat tidak nyaman memang.
Berbeda dengan halnya di Indonesia. Banyak sekali makanan halal yang bisa
dimakan, hingga ada MUI yang mengurus kehalalan makanan. Oleh karena itu,
apabila di Indonesia menemukan bahan makanan yang diragukan kehalalannya, maka saya anjurkan untuk lebih baik meninggalkannya. Toh makanan halal yang lain lebih
banyak. Bila di Jepang ketika membeli makanan maupun makanan ringan cukup
melihat komposisinya saja, untuk di Indonesia saya lebih memilih makanan yang
ada logo halalnya. Walaupun ada juga mungkin makanan halal tanpa logo halal,
namun apabila sudah dipermudah oleh MUI untuk memilih makanan halal, kenapa
kita tidak mengambil makanan yang pasti halal? Saya menyadari hal itu pun
setelah tinggal di Jepang. Sebelumnya, saya beli makanan dan makan makanan sesuka saya ketika di Indonesia, dengan asumsi semuanya halal. Namun tidak begitu juga
ternyata. Kita harus waspada terhadap kehalalan makanan.
Salah satu tantangan terbesar ketika di Jepang adalah mengenai
sholat. Tidak ada masjid di Sendai saat itu. Bahkan untuk sholat Jumat pun
memakai kamar apartemen kontrakan yang dipakai untuk Islamic Centre. Apalagi
yang namanya adzan, hampir mustahil didengar di sana. Bila di Indonesia kita
bisa menggunakan adzan sebagai waktu penanda sholat, bagi saya di sana tidak ada cara
lain selain melihat jam dan melihat jadwal sholat. Karena negeri empat musim,
waktu sholat pun sangat berbeda. Bisa jadi di musim panas sholat shubuh
dilakukan jam 2 pagi, di musim dingin jam 6 pagi. Mengenai tempat, jangan
ditanya. Jangan harap ada yang namanya mushola di pusat perbelanjaan, di
sekolah, di pom bensin, maupun di stasiun. Kata ayah, di kampus pun kalau mau
sholat berjamaah bersama dengan rekan-rekannya dari negara muslim lain,
biasanya dilakukan di atap gedung atau di dekat tangga naik ke atap gedung.
Jadi masalah memang, pada saat musim dingin atau bila turun salju.
Hampir setiap saat kami membawa alas untuk sholat dan kompas untuk
mencari arah kiblat. Ketika akan sholat, saya wudhu di wastafel kamar mandi yang
sepi, sambil was-was bila ada orang yang masuk. Kemudian saya hamparkan alas di
tempat yang sepi, cari arah kiblat, dan sholatlah di mana pun itu. Yang penting
suci. Saat itu saya dan keluarga tidak menjama’ sholat
ketika di Jepang. Jadi sholat lima kali sehari juga merupakan perjuangan. Bila kami di pusat perbelanjaan, tempat yang biasa dipakai sholat
adalah tempat parkir (di samping mobil kami), atau tempat sepi di samping lift
lantai paling atas, tempat troly diletakkan. Tapi bukan suatu kemustahilan bila
tiba-tiba ada orang yang melewati kami sholat. Saat itu saya hanya menahan malu
saja. Memang, bukan hal yang salah. Namun saat itu saya yang belum genap
berusia sepuluh tahun masih merasa malu bila dilihat orang lain. Ketika saya dan
keluarga mengikuti kegiatan piknik di suatu tempat wisata dengan orang-orang
Indonesia yang lain, kami pernah melakukan sholat berjama’ah
di tengah taman dan imam sholat mengeraskan suaranya. Tentu saja banyak orang
lalu lalang melewati kami dan memperhatikan apa yang kami lakukan. Namanya juga
di tempat wisata. Tengah taman pula. Kejadian dan perasaan saya pada peristiwa
itu masih saya ingat hingga sekarang.
Di Indonesia, banyak sekali kita
temukan masjid, dengan suara adzan sebagai pangilannya. Di kompleks tempat
tinggal saya di Indonesia, ada sebuah masjid pusat kegiatan ibadah
warga-warganya. Selain melakukan kegiatan shalat berjama’ah
bersama, yang pastinya selalu dikumandangkan adzan setiap waktu sholat, ada
juga acara ceramah, bedah buku, acara untuk anak dan remaja muslim, dan
acara-acara lainnya yang meningkatkan kecintaan kita kepada Allah. Saya baru
merasakan nikmatnya kumpulan tersebut, ketika berada di luar lingkungan ini.
Bulan Ramadhan di Sendai
sangatlah sepi dibanding di Indonesia. Hampir tidak ada bedanya suasana di
perkotaan. Bila kita di Indonesia beramai-ramai mengikuti shalat tarawih di
masjid, di Jepang tarawih dilakukan di rumah masing-masing, bila tidak malas.
Bila di Indonesia banyak dijual makanan untuk berbuka puasa menjelang waktu
berbuka, di Jepang tentunya tidak ada kolak pisang dan bubur kacang hijau yang
dijual di pinggir jalan. Sholat sendiri, mengaji sendiri, berbuka sendiri. Hal
yang biasa dialami di Indonesia, namun apabila ke luar negeri akan merasakan
ada yang ‘kehilangan’. Saya pun merasa bulan Ramadhan menjadi hambar-hambar saja.
Pengalaman saya di
Jepang merupakan pengalaman saya semasa kecil. Umur tujuh hingga
sebelas saat itu. Ketika itu saya tidak begitu ingat tentang perasaan rindunya
saya terhadap Indonesia, karena saya terlalu berkonsentrasi terhadap bagaimana
saya bisa survive di sana. Saya ketika itu menganggap bahwa sholat di mana pun,
memakai kerudung, dan berhati-hati terhadap makanan merupakan hal yang biasa
dilakukan. Namun setelah saya semakin besar, saya semakin merasakan bahwa
kehidupan islami di Indonesia sangatlah indah. Di sini kita bisa bersama-sama
melakukan banyak hal yang sejalan dengan Islam. Di sini dimudahkan dalam mengamalkan
perintah Allah. Masya Allah. Sayangnya jarang yang menyadari akan hal itu.
Banyak warga Indonesia sendiri mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
tidak tertib, kotor, banyak korupsi, kemiskinan merajalela, pendidikan tidak
merata, kesehatan tidak dijamin, dan bla-bla-bla lainnya. Mungkin itu ada
benarnya juga. PR kita banyak untuk Indonesia. Namun di samping itu, Indonesia
juga merupakan negara dengan mayoritas penduduk Islam terbesar, yang setiap
shubuh adzan berkumandang untuk membangun warganya yang terlelap, banyak
muslimah yang menutup aurat, terasa nuansa Ramadhan yang sangat dimuliakan oleh
masyarakat Indonesia, dan hal-hal lainnya. Namun bila kita tengok dari tempat
lain, dari kehidupan di negara lain, nuansa seperti itu menjadi sesuatu yang
amat dirindukan. Indahnya Islam di Indonesia.
Untuk kita semua yang sedang mencari ridha-Nya
Indonesia, subhanallah, walhamdulillah, wasyukurilah
Di sini lah saya belajar menjadi seorang muslimah yang penuh syukur :)
(Foto diambil tahun 1998, bersama sensei saya di paling kiri, dan sensei lainnya di paling kanan. Ada orang India, Hungaria, Korea, Cina, Jepang, dan Indonesia)
--
Akhir kata, semoga bisa diambil manfaatnya oleh kita semua :)
P.S. Ini tadinya naskah untuk lomba cerpen (tapi telat ngumpulin). Terus akhirnya saya posting di blog wkwk.