Rabu, 17 Agustus 2011

Perjuangan Seorang Muslimah Kecil

Musim gugur Oktober 1997. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di negeri sakura. Saat itu usia saya baru tujuh tahun. Ya, saya akan tinggal di Jepang. Tidak tahu akan berapa lama. Namun, setidaknya tiga sampai empat tahun. Ayah saya akan menuntut ilmu di Tohoku University. Pendidikan doktor jurusan Quantum Science and Energy Engineering. Ayah belajar apa, saya tidak terlalu paham saat itu. Yang pasti adalah, saya, ibu, adik laki-laki saya, dan tentunya ayah, akan tinggal di Sendai.

Pernah terbersit di pikiran, mengapa ayah diberi beasiswa ke Jepang, bukan Amerika. Setidaknya saat itu saya lebih paham dengan bahasa Inggris. Kalau bahasa Jepang, jangankan berbicara, membaca saja tidak bisa sama sekali! Tapi yang pasti itu sudah merupakan jalan Allah yang telah diberikan kepada saya.

Sekarang, saya malah sangat bersyukur pernah hidup di negeri sakura, sehingga saya paham kebudayaan di sana, kebiasaan orang timur belahan negeri lain, dan tentu saja bahasanya. Jadinya saya semacam mengikuti les bahasa Jepang gratis hingga lancar menggunakannya. Saya menjadi menguasai setidaknya tiga bahasa, Indonesia, Jepang, dan Inggris. Untuk berbicara, saya merasa lebih lancar berbicara bahasa Jepang dibanding bahasa Inggris. Ditambah lagi, orang yang bisa berbahasa Jepang lebih langka daripada orang yang berbahasa Inggris bukan? Saya rasakan ini menjadi salah satu ladang amal, seorang translator muslimah. Walaupun latar belakang kuliah adalah IT, namun sepertinya menarik juga jika memiliki usaha lain, seperti translator ataupun mengajar kursus bahasa Jepang.

Tentu saja pengalaman tinggal di Jepang dan bisa berbahasa Jepang tidak dibayar dengan mudah. Penuh daya juang, semangat, keringat, dan air mata yang dikeluarkan oleh anak berusia tujuh tahun ketika itu. Mungkin sedikit berlebihan, tapi itu kenyataan. Sekitar setahun pertama saya tinggal di sana, kata Ibu, saya stress dan banyak menangis. Mungkin saya berusaha beradaptasi dengan lingkungan saat itu yang teramat sangat berbeda. Kalau sekarang saya pikir, banyak dari teman-teman, termasuk saya juga mungkin, yang ingin kuliah ataupun pergi ke Jepang. Namun penting untuk diketahui, berada di negeri orang bertahun-tahun, apalagi yang mayoritas non-muslim, tidaklah mudah. Kalau istilah orang-orang, tidak seindah yang dibayangkan. Jadi selain persiapan barang dan finansial, persiapan hati dan ruhiyah pun harus dilakukan.

Oktober 1997, sebelum berangkat ke Jepang saya sudah duduk di bangku SD kelas tiga. Usia saya memang terlalu cepat satu tahun untuk memasuki SD di Indonesia. Ketika usia lima tahun saya sudah masuk SD. Namun ternyata, di Jepang untuk SD kelas satu harus berumur tujuh tahun. Saya berumur tujuh tahun saat itu! Pada awalnya orang tua berencana untuk menyekolahkan di SD Indonesia, khawatir akan hambatan bahasa. Namun karena Sendai adalah ibukota provinsi yang termasuk kecil, tidak ada sekolah Indonesia di sana. Mau tidak mau, akhirnya saya pun turun kelas menjadi SD kelas satu, dan bersekolah di Kunimi Syougakkou. Kunimi Syougakkou kalau diterjemahkan menjadi SD Kunimi. Dimulailah perjalanan bersekolah di SD negeri Jepang.

Saya sekolah di Kunimi Syougakkou karena SD tersebut lokasinya paling dekat dengan Tohoku Daigaku International House, tempat tinggal saat itu. Pada tahun berikutnya kami sekeluarga pindah ke Taihaku Danchi, perumahan milik kecamatan Taihaku. Dengan demikian, setelah setahun bersekolah di Kunimi Syougakkou, pada tahun berikutnya saya pun harus pindah ke Taihaku Syougakkou hingga tahun keempat saya di Jepang. Saya beradapasi kembali dengan lingkungan baru. Keduanya merupakan SD negeri Jepang. Saya merasakan lebih nyaman dan memiliki banyak teman, bahkan sahabat, saat bersekolah di Taihaku Syougakkou. Mungkin karena sudah beradaptasi sebelumnya dan lebih lancar menggunakan bahasa Jepang.

Kalau ingat masa itu, ada juga sih rasa keterpaksaan dan sedikit penyesalan kenapa tidak ada sekolah internasional di Sendai, prefecture Miyagi. Yang ada hanyalah SD negeri Jepang, sehingga dengan terpaksa aku pun mendaftar dan sekolah di SD tersebut. Namun keterpaksaan itu ternyata membuahkan hasil yang manis. Mau tidak mau saya harus berbicara dengan bahasa Jepang dan menjadi memiliki banyak teman Jepang. Pengalaman bersekolah di SD Jepang, mengikuti kebiasaan-kebiasaannya, mengikuti pelajaran yang diterima oleh anak Jepang pada umumnya, dan kegiatan-kegiatan sekolah di Jepang menjadi pengalaman tak terlupakan. Mungkin apabila saya bersekolah di sekolah Indonesia, pengalaman tersebut tidak lengkap didapatkan.

Namun sekali lagi, pengalaman di sana tidak semata-mata pengalaman manis saja. Patut diketahui, saya beragama Islam, berbeda dengan teman-teman Jepang saya yang lain. Saya mempunyai aturan-aturan agama yang indah untuk diterapkan di mana pun saya berada, termasuk di sekolah itu.

Saya yang sudah berumur tujuh tahun, alhamdulillah sudah mengerti tentang pentingnya seorang muslimah menutup aurat. Jadi ketika di Jepang pun alhamdulillah saya sudah memakai kerudung. Tentu saja hal ini menjadi fenomena yang agak aneh di Jepang. Hampir jarang ditemukan wanita berkerudung di sana. Jikalau ada, kebanyakan dari mereka adalah warga asing yang tinggal di Jepang. Bayangkan, bila di Indonesia hal itu biasa, namun di sekolah saya, saya menjadi satu-satunya orang yang memakai kerudung! Sudah dapat dipastikan, saya menjadi pusat perhatian, terlebih lagi dengan kostum aneh yang saya kenakan. Tentu saja awalnya merasa risih. Di sekolah, di jalan, di supermarket, di kendaraan umum, atau di mana pun saya berada, orang-orang akan melihat saya. Tidak jarang seorang anak kecil memelototi saya, mungkin ia berpikir apa yang dipakai oleh orang itu. Bosan untuk dilihat terus-menerus, saya pernah membalas memelototinya hingga anak itu berhenti melihat ke arah saya. Tentunya saya lakukan dengan niatan bergurau. Di Indonesia banyak muslimah yang memakai kerudung sehingga sudah dianggap biasa, namun di Jepang hal itu menjadi luar biasa. Saya jadi bersyukur tinggal di Indonesia. Saya merasa sangat dimudahkan memakai jilbab di Indonesia. Mulai dari tersedianya pilihan kerudung atau jilbab yang beraneka ragam di toko-toko, hingga kita tidak perlu was-was memakainya. Saya jadi merasa sayang dengan muslimah Indonesia yang belum menuntaskan kewajiban menutup auratnya. Sayang sekali. Hidup di Indonesia sangat dimudahkan Allah dalam menutup aurat, namun mereka belum melaksanakan hal tersebut. Kalau mereka boleh tahu, mengenakan jilbab di negara non-muslim sangat besar tantangannya. Di Indonesia kita memiliki banyak teman seperjuangan. Jika tantangan dari mereka adalah keluarga atau orang terdekat, percayalah, kalian tidak sendiri. Pasti banyak dari teman-teman kita yang mau membantu kalian. Tentu saja yang pasti Allah akan membantu kalian. Janganlah takut untuk berbuat benar. Bila sudah berniat, jangan ditunda untuk memakainya karena kita tidak tahu sampai kapan kita diizinkan Allah untuk hidup di dunia. Semoga kita semua diberi kemudahan oleh Allah SWT.

Setiap hari Senin hingga Jumat, di sekolah saya selalu ada makan siang bersama. Makanan disediakan dari sekolah dan yang memasak pun dari pihak sekolah. Satu lagi saya temukan masalah di sini. Seperti yang telah kita ketahui, dalam agama Islam tidak diperbolehkan makan makanan tertentu seperti babi, daging pun harus disembelih dengan cara yang islami, masakan tidak boleh menggunakan alkohol (walaupun mungkin di sini terjadi beberapa pendapat, tetapi saya mengambil pendapat itu), dan ketentuan-ketentuan lain. Hal itu pun menjadi perbedaan kembali dengan teman-teman saya yang lain. Ayah saya menyampaikan hal tersebut ke sekolah, dan akhirnya pihak sekolah bersedia untuk membuatkan menu khusus untuk saya. Saya kagum dengan mereka yang rela bersusah-susah demi seorang anak kecil seperti saya ini. Terima kasih ya Sensei. Arigatou gozaimasu.
Ketika saya kelas lima, ada acara camping sekolah. Pada saat sekolah memberi tahu orang tua saya mengenai kegiatan camping sekolah, ibu ingin minta izin agar saya tidak ikut. Terbayang betapa beratnya nanti perjuangan yang harus saya lakukan. ibu menemui sensei dengan menyampaikan 3 hal yang memberatkan, yaitu masalah makanan yang harus halal, masalah mandi yang tidak bisa beramai-ramai, dan masalah pelaksanaan sholat. Namun di luar dugaan, sensei sangat mengharapkan saya ikut karena selama ini belum pernah ada siswa asing yang ikut camping. Sensei berjanji akan membantu saya dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Akhirnya saya putuskan untuk menerima tawaran dari sensei. Ternyata, Allah memberikan jalan keluar terhadap semua permasalahan saya melewati sensei. Hari pertama camping ada kegiatan memasak berkelompok membuat curry rice. Biasanya mereka memasak menggunakan daging babi. Namun karena saya tidak bisa memakannya, saya dibantu sensei membuat curry rice tanpa daging. Sensei bahkan berbaik hati bersedia makan curry tanpa daging bersama saya. Hari berikutnya, kami menginap di penginapan. Di sana tersedia kantin. Sebelum berangkat camping, saya memang diminta untuk membawa lauk kering untuk berjaga-jaga apabila ada makanan yang tidak bisa saya makan. Namun di luar dugaan, petugas yang memasak di kantin sempat membuatkan menu khusus untuk saya yang tidak mengandung bahan yang tidak bisa saya makan. Saya pun mengucapkan terima kasih kepada beliau. Malamnya ada acara berendam bersama yang lumrah dilakukan orang Jepang. Saya yang memakai kerudung saat itu tentu saja tidak bisa melakukannya. Lagi-lagi sensei membantu saya. Ketika teman-teman ofuro, ternyata sensei telah menyediakan suatu kamar mandi khusus yang bisa saya gunakan untuk berendam sendiri. Saya terharu akan kebaikan Sensei, karena kamar mandi yang 'bekas' saya pakai juga digunakan para sensei wanita untuk mandi. Untuk sholat, saya lakukan di tempat yang sepi menggunakan sela-sela waktu seperti setelah teman-teman pergi. Sensei pernah suatu ketika mengingatkan untuk sholat. Saya kaget karena pernah Sensei mengingatkan sambil melakukan gerakan takbiratul ihram.

Begitulah perjuangan untuk survive di kegiatan yang jauh dari kemudahan-kemudahan melaksanakan agama Islam. Tidak ada sholat berjamaah, tidak ada berdoa sebelum makan bersama. Semuanya dilakukan sendiri. Namun yang perlu kita yakini, Allah pasti menolong hamba-Nya yang berusaha menjalankan perintah-Nya.

Ketika jalan-jalan di mall, tentu saja saya tidak bisa makan di sembarang tempat. Bila di Indonesia sering berkunjung ke fastfood atau rumah makan, namun fast food di sana belum tentu hewan disembelih dengan cara yang islami (setidaknya pendapat tersebut yang saya ambil). Ketika mengadakan makan-makan dengan orang Jepang pun, kami mengambil hanya sayur-sayuran dan ikan, dan masakan yang kira-kira aman bumbu yang digunakannya. Sangat tidak nyaman memang. Berbeda dengan halnya di Indonesia. Banyak sekali makanan halal yang bisa dimakan, hingga ada MUI yang mengurus kehalalan makanan. Oleh karena itu, apabila di Indonesia menemukan bahan makanan yang diragukan kehalalannya, maka saya anjurkan untuk lebih baik meninggalkannya. Toh makanan halal yang lain lebih banyak. Bila di Jepang ketika membeli makanan maupun makanan ringan cukup melihat komposisinya saja, untuk di Indonesia saya lebih memilih makanan yang ada logo halalnya. Walaupun ada juga mungkin makanan halal tanpa logo halal, namun apabila sudah dipermudah oleh MUI untuk memilih makanan halal, kenapa kita tidak mengambil makanan yang pasti halal? Saya menyadari hal itu pun setelah tinggal di Jepang. Sebelumnya, saya beli makanan dan makan makanan sesuka saya ketika di Indonesia, dengan asumsi semuanya halal. Namun tidak begitu juga ternyata. Kita harus waspada terhadap kehalalan makanan.

Salah satu tantangan terbesar ketika di Jepang adalah mengenai sholat. Tidak ada masjid di Sendai saat itu. Bahkan untuk sholat Jumat pun memakai kamar apartemen kontrakan yang dipakai untuk Islamic Centre. Apalagi yang namanya adzan, hampir mustahil didengar di sana. Bila di Indonesia kita bisa menggunakan adzan sebagai waktu penanda sholat, bagi saya di sana tidak ada cara lain selain melihat jam dan melihat jadwal sholat. Karena negeri empat musim, waktu sholat pun sangat berbeda. Bisa jadi di musim panas sholat shubuh dilakukan jam 2 pagi, di musim dingin jam 6 pagi. Mengenai tempat, jangan ditanya. Jangan harap ada yang namanya mushola di pusat perbelanjaan, di sekolah, di pom bensin, maupun di stasiun. Kata ayah, di kampus pun kalau mau sholat berjamaah bersama dengan rekan-rekannya dari negara muslim lain, biasanya dilakukan di atap gedung atau di dekat tangga naik ke atap gedung. Jadi masalah memang, pada saat musim dingin atau bila turun salju.

Hampir setiap saat kami membawa alas untuk sholat dan kompas untuk mencari arah kiblat. Ketika akan sholat, saya wudhu di wastafel kamar mandi yang sepi, sambil was-was bila ada orang yang masuk. Kemudian saya hamparkan alas di tempat yang sepi, cari arah kiblat, dan sholatlah di mana pun itu. Yang penting suci. Saat itu saya dan keluarga tidak menjama sholat ketika di Jepang. Jadi sholat lima kali sehari juga merupakan perjuangan. Bila kami di pusat perbelanjaan, tempat yang biasa dipakai sholat adalah tempat parkir (di samping mobil kami), atau tempat sepi di samping lift lantai paling atas, tempat troly diletakkan. Tapi bukan suatu kemustahilan bila tiba-tiba ada orang yang melewati kami sholat. Saat itu saya hanya menahan malu saja. Memang, bukan hal yang salah. Namun saat itu saya yang belum genap berusia sepuluh tahun masih merasa malu bila dilihat orang lain. Ketika saya dan keluarga mengikuti kegiatan piknik di suatu tempat wisata dengan orang-orang Indonesia yang lain, kami pernah melakukan sholat berjamaah di tengah taman dan imam sholat mengeraskan suaranya. Tentu saja banyak orang lalu lalang melewati kami dan memperhatikan apa yang kami lakukan. Namanya juga di tempat wisata. Tengah taman pula. Kejadian dan perasaan saya pada peristiwa itu masih saya ingat hingga sekarang.

Di Indonesia, banyak sekali kita temukan masjid, dengan suara adzan sebagai pangilannya. Di kompleks tempat tinggal saya di Indonesia, ada sebuah masjid pusat kegiatan ibadah warga-warganya. Selain melakukan kegiatan shalat berjamaah bersama, yang pastinya selalu dikumandangkan adzan setiap waktu sholat, ada juga acara ceramah, bedah buku, acara untuk anak dan remaja muslim, dan acara-acara lainnya yang meningkatkan kecintaan kita kepada Allah. Saya baru merasakan nikmatnya kumpulan tersebut, ketika berada di luar lingkungan ini.


Bulan Ramadhan di Sendai sangatlah sepi dibanding di Indonesia. Hampir tidak ada bedanya suasana di perkotaan. Bila kita di Indonesia beramai-ramai mengikuti shalat tarawih di masjid, di Jepang tarawih dilakukan di rumah masing-masing, bila tidak malas. Bila di Indonesia banyak dijual makanan untuk berbuka puasa menjelang waktu berbuka, di Jepang tentunya tidak ada kolak pisang dan bubur kacang hijau yang dijual di pinggir jalan. Sholat sendiri, mengaji sendiri, berbuka sendiri. Hal yang biasa dialami di Indonesia, namun apabila ke luar negeri akan merasakan ada yang kehilangan. Saya pun merasa bulan Ramadhan menjadi hambar-hambar saja.


Pengalaman saya di Jepang merupakan pengalaman saya semasa kecil. Umur tujuh hingga sebelas saat itu. Ketika itu saya tidak begitu ingat tentang perasaan rindunya saya terhadap Indonesia, karena saya terlalu berkonsentrasi terhadap bagaimana saya bisa survive di sana. Saya ketika itu menganggap bahwa sholat di mana pun, memakai kerudung, dan berhati-hati terhadap makanan merupakan hal yang biasa dilakukan. Namun setelah saya semakin besar, saya semakin merasakan bahwa kehidupan islami di Indonesia sangatlah indah. Di sini kita bisa bersama-sama melakukan banyak hal yang sejalan dengan Islam. Di sini dimudahkan dalam mengamalkan perintah Allah. Masya Allah. Sayangnya jarang yang menyadari akan hal itu. Banyak warga Indonesia sendiri mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak tertib, kotor, banyak korupsi, kemiskinan merajalela, pendidikan tidak merata, kesehatan tidak dijamin, dan bla-bla-bla lainnya. Mungkin itu ada benarnya juga. PR kita banyak untuk Indonesia. Namun di samping itu, Indonesia juga merupakan negara dengan mayoritas penduduk Islam terbesar, yang setiap shubuh adzan berkumandang untuk membangun warganya yang terlelap, banyak muslimah yang menutup aurat, terasa nuansa Ramadhan yang sangat dimuliakan oleh masyarakat Indonesia, dan hal-hal lainnya. Namun bila kita tengok dari tempat lain, dari kehidupan di negara lain, nuansa seperti itu menjadi sesuatu yang amat dirindukan. Indahnya Islam di Indonesia.

17 Ramadhan 1432. 17 Agustus 2011
Untuk kita semua yang sedang mencari ridha-Nya
Indonesia, subhanallah, walhamdulillah, wasyukurilah













Di sini lah saya belajar menjadi seorang muslimah yang penuh syukur :)
(Foto diambil tahun 1998, bersama sensei saya di paling kiri, dan sensei lainnya di paling kanan. Ada orang India, Hungaria, Korea, Cina, Jepang, dan Indonesia)

--

Akhir kata, semoga bisa diambil manfaatnya oleh kita semua :)

P.S. Ini tadinya naskah untuk lomba cerpen (tapi telat ngumpulin). Terus akhirnya saya posting di blog wkwk.

Selasa, 09 Agustus 2011

Bismillah..

Ini blog kedua saya. Blog saya dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Semoga tulisan yang saya akan tuliskan di sini dapat memberi manfaat kepada kita semua :)